• Buletin
  • Kontak
local institutes: indonesia
  • international
  • asia
  • china
  • indonesia
  • belgium (nl)
  • belgium (fr)
  • netherlands
  • nigeria
FrieslandCampina Institute
  • Produk susu
  • Kesehatan
  • Berita
  • Pendidikan
  • Tentang Kami
  1. Home
  2. Kesehatan
  3. Nutrisi anak
  4. Asupan gizi anak usia 6 bulan hingga 12 tahun di Indonesia

Asupan gizi anak usia 6 bulan hingga 12 tahun di Indonesia

South East Asia Nutrition Survey merupakan studi gizi dan kesehatan multi-metrik yang paling luas dan menyeluruh yang pernah dilakukan di Asia Tenggara. Studi ini dilaksanakan oleh universitas-universitas terkemuka di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Studi ini meneliti antropometri, asupan gizi, status gizi, tingkat kegiatan fisik dan kognitif dari 16.744 anak yang berusia antara enam bulan hingga dua belas tahun. Artikel ini memberikan informasi mengenai asupan gizi anak usia 6 bulan hingga 12 tahun di Indonesia.

Beberapa organisasi, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (1), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) (1), Institute of Medicine (IOM) (2), European Food Safety Authority (EFSA) (3) dan European Recommendations Aligned (EURRECA) (4), telah menetapkan kebutuhan gizi dan rekomendasi asupan gizi. Rekomendasi ini menjadi dasar bagi masing-masing negara ketika menetapkan nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan merancang pedoman gizi berbasis bahan pangan untuk penduduk masing-masing negara tersebut. Angka Kecukupan Gizi (AKG) merupakan nilai asupan harian gizi yang mencukupi untuk memenuhi sekitar 97 hingga 99% kebutuhan gizi orang sehat pada populasi yang dikelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. (1) Selain dari studi antropometrik dan analisis biokimia, upaya penentuan asupan gizi suatu populasi sehubungan dengan AKG merupakan usaha untuk mengetahui status gizi dan mementukan kemungkinan penyebab dari adanya kekurangan gizi atau malnutrisi.

SEANUTS: South East Asia Nutrition Survey

SEANUTS merupakan studi lintas bidang yang bertujuan untuk menilai status gizi sampel yang mewakili anak-anak usia 6 bulan hingga 12,9 tahun di Indonesia (5), Malaysia (6), Thailand (7), dan Vietnam (8). Di Indonesia, populasi studi ini terdiri dari 7.211 anak umur 6 bulan hingga 12 tahun, baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. SEANUTS di Indonesia menggunakan desain studi lintas bidang di empat puluh delapan (dari total 440) kabupaten/kota pada tahun 2011. (5) Evaluasi asupan gizi di Indonesia, Thailand, dan Vietnam dilakukan dengan menggunakan kuesioner standar dengan menuliskan jenis dan jumlah makanan yang dimakan selama 24 jam terakhir. Contoh porsi makanan ditimbang selama pengumpulan data untuk menghitung kuantitas produk makanan lokal secara akurat. (6,8-9) Perbandingan asupan gizi dengan AKG yang telah ditetapkan membantu menilai persentase anak-anak yang tingkat asupan gizi hariannya tidak cukup untuk memenuhi AKG mereka (6-9).

Hasil

Asupan energi

Hasil SEANUTS menunjukkan bahwa lebih dari setengah anak-anak Indonesia di perkotaan dan pedesaan tidak memenuhi kebutuhan gizi untuk energi, kecuali anak-anak perkotaan kelompok umur 0,5 hingga 0,9 tahun yang hampir mencapai 50%. Ketika anak-anak tumbuh dewasa, mereka lebih rentan mendapatkan asupan energi yang lebih rendah. (5). Lihat Gambar 1.

GAMBAR 1. Persentase anak Indonesia yang kebutuhan asupan energinya tidak terpenuhi

Biru = daerah perkotaan. Ungu = daerah pedesaan.

Protein

Protein merupakan salah satu unsur pembangun. Asupan protein yang tidak mencukupi, terutama dalam jangka panjang, mengakibatkan stunting dan/atau thinning (10). Di Indonesia, 45 hingga 74% anak-anak yang tinggal di pedesaan dan 28 hingga 57% dari anak-anak yang tinggal di perkotaan mendapatkan asupan protein di bawah AKG (5). Lihat gambar 2.

GAMBAR 2 Persentase anak-anak Indonesia yang kebutuhan asupan proteinnya tidak terpenuhi

Biru = daerah perkotaan. Ungu = daerah pedesaan.

Kalsium

Zat-zat gizi esensial, seperti zat besi, kalsium, dan vitamin, diperlukan oleh tubuh agar berfungsi dengan normal. Zat nutrisi mikro tersebut tidak dapat disintesis oleh tubuh atau hanya diproduksi dalam jumlah kecil, sehingga harus didapatkan melalui makanan. Vitamin D dan kalsium penting untuk perkembangan tulang dan gigi. Penguraian mineral tulang dan terhambatnya pertumbuhan serta munculnya beberapa penyakit merupakan akibat dari kekurangan asupan kalsium. (10-11) Berdasarkan AKG, lebih dari setengah anak-anak di Indonesia tidak terpenuhi asupan kalsiumnya (6-9).  

Zat Besi

Zat besi berperan dalam pengangkutan oksigen dan perkembangan kognitif yang normal. Beberapa penelitian mengaitkan penurunan penyimpanan zat besi dengan fungsi motorik dan kognitif. (10) Asupan zat besi yang tidak mencukupi juga menjadi penyebab utama dari anemia pada anak-anak (12). Hasil studi SEANUTS mengungkapkan bahwa Indonesia (61% hingga 92%, di daerah perkotaan; 71% hingga 95%, di daerah pedesaan) (5) dan Vietnam (88%, di daerah perkotaan; 94%, di daerah pedesaan) (8) memiliki persentase yang lebih tinggi terkait dengan anak-anak yang mendapatkan asupan zat besi kurang dari AKG setempat, dibandingkan dengan Malaysia (63,8%, di daerah perkotaan; 27,6%, di daerah pedesaan) (6) dan Thailand (65,1 & 71,5%, masing-masing untuk anak laki-laki dan anak perempuan di daerah perkotaan; 71,5% dan 76,2%, masing-masing untuk anak laki-laki dan anak perempuan di daerah pedesaan) (7).

Vitamin A

Vitamin A adalah zat nutrisi mikro yang penting untuk kekebalan tubuh, pertumbuhan sel dan mata (14). Vitamin B1, atau tiamin, berperan dalam metabolisme energi dan pembentukan jaringan (15). Sementara Vitamin C berperan dalam proses penyembuhan luka, ketahanan tubuh terhadap infeksi, penyerapan zat besi dan tindakan anti oksidatif lainnya (16). Di Indonesia, lebih dari setengah anak-anak tidak mendapatkan asupan vitamin A dan C yang cukup, kecuali untuk tingkat vitamin A anak laki-laki dan anak perempuan yang berumur 0,5 hingga 0,9 tahun (5).

Gambar 3. Anak-anak Indonesia yang kebutuhan kalsium (c), besi (d), vitamin A €, dan vitamin C-nya (f) tidak terpenuhi

Biru = daerah perkotaan. Ungu = daerah pedesaan.

Dampak Malnutrisi

Asupan energi, protein, dan zat gizi mikro cenderung semakin rendah seiring anak-anak beranjak dewasa (3-6).  Hal ini berkaitan dengan asupan gizi yang kurang sementara energi yang dikeluarkan lebih banyak karena kegiatan sekolah dan lainnya yang lebih banyak memerlukan energi  (3-6). Asupan gizi makro dan mikro yang rendah mengakibatkan tingginya kasus kekurangan gizi/malnutrisi dan nilai parameter biokimia yang rendah di semua kelompok anak-anak. FAO, bekerjasama dengan badan lain seperti WHO, Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), Program Pangan Dunia (WFP), harus memfasilitasi perumusan program-program kesehatan dan gizi yang lebih efektif dan memastikan dibuatnya kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang lebih baik dari program-program tersebut.

Strategi terkait gizi yang dapat ditingkatkan lebih lanjut termasuk gerakan Peningkatan Gizi/Scalling Up Nutrition (SUN) antara lain: fortifikasi bahan pangan, pemberian suplemen zat gizi mikro, dan penekanan pada ketahanan pangan, kebun keluarga, dan sistem pangan yang berkelanjutan dan fleksibel (Tantangan Pemberantasan Kelaparan PBB/UN’s Zero Hunger Challenge). (9) Selain itu, kerjasama antara sektor publik dan swasta dapat mendukung pengembangan program fortifikasi pangan di Asia Tenggara. Sektor swasta dapat memberikan dukungan finansial dan teknis dalam hal produksi bahan makanan dan melakukan penelitian bersama untuk mengetahui pengaruh dan efektifitas program fortifikasi pangan tersebut. Kemitraan antara pemerintah dan swasta (KPS) dapat juga memperkuat pengumpulan data asupan makanan dan penggunaan data tersebut oleh kedua sektor diharapkan dapat memberikan estimasi yang lebih akurat. (12)

Referensi

  1. Dietary recommendations/Nutritional Requirements. http://www.who.int/nutrition/topics/nutrecomm/en/
  2. https://fnic.nal.usda.gov/dietary-guidance/dietary-reference-intakes
  3. European Food Safety Authority. Scientific Opinion on Principles for deriving and Applying Dietary Reference Values. EFSA Journal 2010; 8 (2): 1458.
  4. Dhonukshe-Rutten RA, Bowman J, Brown K et al. Critical Review in Food Science and Nutrition 2013: 53: 10, 999-1040. EURRECA. Evidence-Based Methodology for Deriving Micronutrient Recommendations http://dx.doi.org/10.1080/10408398.2012.749209
  5. Sandjaja S, Budiman B, Harahap H et al. British Journal of Nutrition 2013; 110: S11-S20.
  6. Poh BK, Ng BK, Haslinda MDS et al. British Journal of Nutrition 2013; 110: S21-S35.
  7. Rojroongwasinkul N, Kijboonchoo K, Wimonpeerapattana W et al. British Journal of Nutrition 2013; 110: S36-S44. (Internal Data: Ng SN, Tan-Khouw I, Parikh P, et al. SEANUTS 2.0 Substantiation document, 2013: Version 1.9. 2013)
  8. Nguyen BKL, Thi HL, Do VAN et al. British Journal of Nutrition 2013; 110: S45-S56.
  9. org/en/zerohunger/challenge.shtml.
  10. International Life Sciences Institute Southeast Asia Region. Recommended Dietary Allowances. Harmonization in Southeast Asia. Monograph Series; Tee ES, Florentino RF ed. 2005.
  11. Khor GL, Chee WSS, Shariff ZM et al. BMC Public Health 2011; 11: 95.
  12. Micronutrient deficiencies. http://www.who.int/nutrition/topics/en/
  13. FAO Corporate Document Repository. Human nutrition in the developing world. http://www/fao.org/docrep/W0073e/w0073e05.htm#P2936_334096
  14. Scurvy and its prevention and control in major emergencies. 1999. United Nations High Commissioner for Refugees. Geneva: World Health Organization.
  15. Gayer J, Smith G. Nutrients 2015; 7 (1): 646-658.
Diterbitkan pada: 12 Juli 2018
Produk susu Kesehatan Video Tentang Kami Cara kerja kami Kontak

Ikuti kami di media social:

Hanya untuk tenaga kesehatan profesional
  • Kebijakan ‘cookie’
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
  • Syarat dan Ketentuan